Posted in Review

KEDUDUKAN WANITA DALAM NOVEL CINTAKU DI KAMPUS BIRU KARYA ASHADI SIREGAR

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Grebstein (dalam Agepe. 2008) karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor sosial dan kultural, sehingga karya sastra selalu mengungkapkan tatar sosial budaya pengarangnya. Sedangkan menurut Abrams (dalam Yunianti. 2005) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Karya sastra adalah aspirasi berbentuk artistik dan imajinatif, bentuk lain untuk melawan paham dan aturan mutlak secara tidak langsung, dan merupakan media untuk menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir.

Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar merupakan novel yang publikasikan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1974. Novel ini telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1976, dengan judul yang sama, dengan pemeran utama Roy Martin dan Yenny Rachman. Setelah kesuksesannya, novel ini kembali diangkat ke layar kaca sebagai sebuah sinetron.

Cintaku di Kampus Biru merupakan tonggak dan batu loncatan bagi novel popular Indonesia yang pada saat itu jumlahnya masih minim dan belum mendapat perhatian khusus. Dengan daya citraan yang masih relevan dengan setiap dekade kehidupan remaja, karya Siregar ini masih mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Novel ini merupakan bagian pertama dari trilogi novel karya Siregar, dua bagian lainnya adalah Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Mengangkat problematika hidup mahasiswa Universitas Gajah Mada, dikenal sebagai kampus biru, pada tahun 80an secara gamblang. Melibatkan konfilk psikis, tuntutan perkuliahan, masalah percintaan, hingga skandal yang kompleks.

Dalam penggambarannya Siregar menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa pinjaman kosakata sains yang digunakan dalam struktur dialog. Terdapat pula kata-kata seruan yang digunakan berulang-ulang, misalnya bah! Lewat karyanya, Siregar seolah ingin mendikte pembaca untuk sadar akan perubahan masyarakan ke arah liberal lewat sudut pandangnya.

Dilihat dari sosiologi pengarang, pemilihan Universitas Gajah Mada sebagai latar tidak terlepas dari kepengarangan, Siregar sendiri merupakan alumni UGM yang kemudian menjabat sebagai dosen. Tidak dapat ditampik bahwa novel ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural pengarang, dipersiapkan untuk memotret kehidupan mahasiswa yang hedonis pada masanya.

Cintaku di Kampus Biru menjadi sangat menarik karena Ashadi membuka penceritaan dengan adegan tidak lazim di balik semak di lingkungan kampus yang dilakukan oleh sepasang manusia tanpa nama, hanya disebut sebagai laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukan bahwa pada masyarakat di lingkung modern telah terjadi suatu pergeseran paradigma moral, yang menyebabkan masyarakat berpikir lebih liberal.

Novel ini mengangkat berbagai intrik dan permasalahan mengenai pengertian cinta yang hakiki. Sosok Anton merupakan lambang dari hedonisme. Mewakili paradigma mahasiswa modern yang lebih condong mengagungkan kesenangan dunia, termasuk di dalamnya persoalan cinta dan seksualitas. Sosok liberal yang menolak suatu hubungan serius yang terlalu mengikat.

Dilihat kaitannya dengan novel Pesta Perpisahan karya Milan Kundera, terdapat suatu pola kesamaan, yakni tokoh utama pria menjalin berbagai affair dengan banyak wanita disamping menjalani hubungan percintaan resminya. Perbedaannya terletak pada akhir kisah, jika dalam novel Pesta Perpisahan, sang lelaki kembali pada cintanya, dalam novel Cintaku di Kampus Biru, Anton harus kehilangan cinta lamanya dan mendapat prlabuhan baru.

…Ia berpendapat bahwa pertanda cinta yang tak kunjung padam dari seorang pria adalah tidak berminatnya pria itu pada wanita lain. Tentu saja ini omong kosong. Sesuatu selalu menggerakkan aku ke arah wanita lain. Tapi begitu aku mendapatkannya, sejenis kekuatan elastis menarikku kembali pada Kamila. Aku kadang merasa bahwa mengejar wanita-wanita lain itu hanya demi pantulan baliknya, demi indahnya terbang kembali kepada istriku (penuh kelembutan, kerinduan, kerendahan hati), yang semakin kucintai melalui setiap tindak penyelewengan baru.” (Kundera. 2004 : 36)

Tokoh Anton digambarkan sebagai sosok hedonis yang bermain-bermain dengan cinta, dan mengukur kadar kecintaan dengan komunikasi seksual. Ditunjukan oleh fragmen yang menyebutkan bahwa berciuman tidak menunjukan bahwa kedua orang yang  mrlakukannya berada dalam suatu hubungan resmi. Kelemahan tokoh Anton adalah ia selalu melibatkan perasaan dalam setiap affair yang dijalaninya, sehingga ia menjadi sosok yang paling menyesal pada bagian akhir. Para wanita yang terlibat hubungan dengannya hanya akan kehilangan sosok Anton, bertolak belakang dengan Anton yang harus kehilangan banyak wanita.

Di samping menggambarkan sikap hedonis mahasiswa, Siregar juga menggambarkan berbagai perubahan sikap yang dialami wanita di era modern lewat tokoh-tokohnya. Secara eksplisit, Siregar menggambarkan bahwa wanita juga mengalami fase perubahan ke arah liberal. Wanita modern tidak lagi pemalu dan tunduk pada adat, melainkan menjadi sosok penentang dan berusaha mensejajarkan diri drngan laki-laki, yang kemudian merujuk pada tindakan radikal dan etnosentrisme. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar, wanita liberal yang radikal apakah suatu kemajuan atau kemunduran.

Digambarkan pula oleh Siregar bahwa sikap radikal wanita yang menginginkan kesamaan dengan laki-laki atas nama emansipasi tidak akan terlaksana sepenuhnya. Pada hakikatnya, wanita diciptakan untuk melengkapi, pun yang dijelaskan dalam pedoman agama, status wanita berbeda dengan laki laki agar dapat tercipta hubungan ideal antara melindungi dan dilindungi. Sehingga meskipun seorang wanita menginginkan kesejajaran, ia tidak akan terlepas dari rada canggung, hal ini berkaitan dengan kultur dan hal prinsipil.

Digambarkan pula oleh Siregar, sikap radikal wanita juga ditinjukkan oleh penggunaan unpatan-umpatan kasar, secara harfiah hal ini juga berdampak pada aspek psikologis, ketika sudut pandang dan citraan wanita menjadi buruk. Gerakan feminis radikal itu boleh jadi kemudian dapat berkembang menjadi suatu gerakan lesbianisme apabila keinginan untuk mensrjajarkan diri dengan laki-laki sudah tidak tersinggung. Lesbianisme merupakan suatu gerakan untuk menunjukan diri dan membuktikan bahwa wanita tidak membutuhkan laki-laki. Persoalan lesbiNismeini sedikit disinggung dalam dialog tokoh Anton.

Siregar menggambarkan beberapa sikap wanita yang dilukiskan ke dalam beberapa tokoh. Tokoh Marini merupakan simbol dari keagresifan wanita yang tersembunyi. Secara naluriah, wanita merupakan sosok pemalu yang kerap kali menutup diri, namun apabila ia telah berada dalam lingkung yang membuatnya nyaman, seorqng wanita akan menunjukan pribadi yang sesungguhnya. Pun dengan dalam hubungan percintaan, wanita cenderung dapat bertransformasi menjadi lebih agresif daripada laki-laki dalam sebuah hubungan resmi, dan hal tersebut telah banyak dibuktikan dengan penelitian kedokteran, karena hal ini berkaitan dengan produksi hormon.

Tokoh Marini juga digambarkan sebagai sosok yang sentimentil, mengandalkan luapan perasaan dan intuisi dalam menentukan suatu keputusan. Ciri khas seorang wanita yang lebih banyak melibatkan perasaan daripada logika. Meski demikian, wanita adalah sosok yang keras kepala, egois, mudah cemburu dan protektif terhadap pasangannya. Seakan ingin mengingatkan wanita bahwa sikap seperti itu berdampak negatif bagi lingkung sekitar, melalui kontradiksi batin Anton, Siregar mengungkapkan bahwa laki- laki tidak menyukai sikap sentimentil wanita yang terlalu berlebihan. “Kalaupun putus, biarlah teman-teman tahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menjaga nama baikku.” (Siregar. 1974:7)

Sikap agresif juga ditunjukan oleh Yusnita, meski keagresifan yang ditunjukannya berlainan dengan keagresifan yang ditunjukan Marini. Yusnita lebih cenderung pasrah dan apa yang dikakukannya berkaitan dengan harga diri tinggi dan kebutuhan seksualitas sebagai akibat dari faktor usia. Secara hukum adat dan sosial, adegan berciuman antara Anton dan Yusnita tidak dapat berterima, karena keduanya belum terlibat dalam suatu hubungan resmi, dan tindakan yang dilakukan Anton menunjukan krisis kepribadian, karena berlaku melanggar norma terhadap dosen yang seharusnya dihormati.

Sementara lewat sosok Erika, Siregar menggambarkan sisi kelabilan wanita. Karena dominannya keterlibatan perasaan dalam menentukan keputusan, wanita acapkali mengalami suatu kontradiksi dan kebimbangan dalam menetapkan keputusan. Pun dengan persoalan cinta, Erika tidak mampu menafsirkan perasaannya, sehingga cintanya pada Anton menjelma menjadi suatu cinta platonis karena perasaan terikat pada Usman.

Siregar juga sekan menyindir para wanita yang selalu ingin menjadi pusat perhatian, berlagak modern meski sebenarnya penampilan mereka kurang senonoh.

Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik, sebab dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek kaya Macacus Irus. Tentunya agar menarik perhatian banyak orang. (Siregar. 1974:9)

Di samping hal ini, Siregar juga menyelipkan pesoalan psikologis, menjelaskan hubungan langsung antara rasa stres dan dampaknya terhadap fisik. Selain itu disinggung pula persoalan Jepang, yang pada saat itu mulai kembali masuk ke Indonesia, lewat umpatan yang dilontarkan Marini akibat banyaknya kendaraan bermotor. Pesan yang ingin disampaikan Siregar, selain pencarian jati diri dan cinta, adalah bagaimana mahasiswa harus dapat memosisikan diri. Mahasiswa tidak melulu harus belajar, melainkan harus pula menjadi aktivis dalam praktiknya di masa depan mahasiswa juga harus mengembangkan sayap dalam mempelajari bidang kajian lain di luar kajian di bidangnya.***

Posted in Review

Traumatik Kekerasan Domestik yang Dialami Tokoh Gambir dalam Novel Pintu Terlarang Karya Sekar Ayu Asmara

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Abrams (dalam Yunianti. 2005) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Keberadaan karya sastra memegang kedudukan penting, yakni sebagai perspektif kritis lain atas suatu problematika hidup yang disikapi secara artistik dan imajinatif, sebagai bentuk lain dalam menyampaikan aspirasi dan menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir (scientific truth).

Pintu Terlarang  karya Sekar Ayu Asmara merupakan novel yang publikasikan oleh Andal Krida Nusantara pada tahun 2004. Novel in telah diekranisasi ke dalam sebuah film dengan judul sama pada tahun 2009 yang dibintangi oleh Fachri Albar dan Marsha Timothy.

Pintu terlarang merupakan suatu novel yang membawa pembaca pada suatu puncak ketegangan, kemudian menawarkan suatu penyelesaian tak terduga. Novel itu terbagi kedalam tiga alur berbeda, yang kemudian pada klimaks dibuat menjadi satu bagian yang tak terpisahkan, sehingga sulit untuk menebaknya. Dilihat dari gaya bahasa, Asmara mengolah kata-kata dan memilih diksi dengan sangat piawai dan begitu detil. Hanya saja, terdapat beberapa alur yang terkesan terlalu dipaksakan, dan bertentangan dengan logika umum.

Dilihat dari pemaknaan, Pintu Terlarang sendiri merupakan suatu simbol pembatas antara hal nyata dan maya. Pada dasarnya, batasan antara dunia nyata dan maya haruslah jelas, sehingga tidak terjadi suatu kondisi blur yang bercampur aduk, sehingga terjadi suatu ketidakjelasan yang menyembabkan seseorang tidak mampu membedakan antara hal nyata dan imajinasi.

“Kamu ingat ya Gambir. Pintu itu adalah pintu yang terlarang.” Ia menudingkan jari telunjuknya dekat ke wajah Gambir. “Sekali kamu buka, semua yang kita telah bina selama ini akan hilang. Sekali kamu buka, hidup kita akan berakhir. Hidup kamu akan berakhir!”  (Asmara. 2004)

 

Secara ekplisit, Asmara menjelaskan bahwa terkadang dunia imajinasi jauh lebih indah dibandingkan dengan dunia nyata, sehingga ada beberapa orang yang dengan sengaja memilih untuk menyembunyikan diri dalam fantasinya, karena terlalu takut untuk menghadapi kenyataan pahit yang sesungguhnya telah terjadi.

Secara garis besar Pintu Terlarang mengisahkan kehidupan kelam seorang pemuda, Gambir, yang sejak masa kanak-kanak mengalami suatu tekanan berat dari kedua orangtuanya, baik berupa tekanan fisik maupun tekanan mental, yang berdampak terhadap perkembangan psikologisnya sehingga ia mengalami kondisi psikologis yang abnormal, seperti social anxiety disorder, masochist, dan alter ego yang kemudian berkembang menjadi skizofrenia.

Tekanan yang dialami seseorang secara terus menerus dapat berdampak pada psikologi korban, sikap introvert, ketakutan berlebih, dan kecemasan yang dialami korban kemudian akan berkembang menjadi suatu keinganan untuk mengakhari tindakan negatif yang diperolehnya, sehingga akan menuntut seseorang untuk kemudian bertindak radikal diluar kontrol dirinya sendiri.

Asmara mengilustrasikan keadaan ini dengan sangat rapi lewat tokoh Gambir kecil, yang mampu membunuh kedua orangtuanya untuk membebaskan diri dari tekanan yang dialaminya. Namun kondiri tersebut kemudian berkembang menjadi suatu permasalahan yang lebih kompleks, karena rasa traumatik yang dialami Gambir kemudian bercampur dengan rasa bersalah dan ketakutan akibat pembunuhan yang dialaminya, sehingga menimbulkan suatu kondisi psikis yang jauh lebih rumit, yakni timbulnya alterego dalam dirinya sendiri, serta kondisi self injury yang menyebabkan tokoh Gambir memotong tangannya sendiri karena anggapan bahwa tangan itulah yang telah membunuh kedua orangtuanya.

Gambaran Asmara mengenai sosok alter ego tokoh Gambir pada saat ia telah mengalami fase dewasa meskipun ia telah menjalani rehabiliasi di rumah sakit jiwa selama delapan belas tahun, membuktikan bahwa tekanan psikologis dan rasa traumatik yang dialami pada masa kanak-kanak akibat kekerasan domestik, child abuse, berdampak panjang dan akan tetap berbekas. Dunia dalam dunia yang diciptakan oleh tokoh Gambir merupakan suatu pertahanan dan bentuk rangkaian panjang untuk menyangga dirinya agar tidak tumbang dalam kondisi psikologis yang tidak seimbang, sehingga ia akan tetap mampu bertahan hidup dalam tekanan dan rasa traumatik yang dialaminya.

Dalam dunianya, tokoh Gambir membayangkan bahwa ia adalah seorang pematung hebat yang memiliki seorang istri perfeksionis bernama Talyda. Dilihat dari kaitannya dengan masa lalu, berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang meliputi tingkah laku tokoh, jalan pikiran tokoh, dialog tokoh, dan deskripsi pengarang mengenai tokoh, dapat diketahui bahwa Gambir menciptakan dunianya untuk melarikan diri dari dunia nyata sehingga ia dapat bertahan hidup, namun rasa traumatik yang kuat menyebabkan ketakutan dan hal-hal buruk yang dialaminya dalam dunia nyata ikut terefleksi dalam dunia ciptaannya. Sosok Talyda sendiri dapat dianggap sebagai refleksi dari Ibunya, yang mencintai sekaligus menikamnya. Gambir mencintai Talyda namun pada saat yang bersamaan, ia memiliki suatu ketakutan terhadap sosok istrinya ini, dan pada pada bagian klimaks, digambarkan bahwa Gambir membunuh Talyda sebagaimana ia membunuh sosok Ibunya untuk melarikan dari dari tekanan dan ketakutan. Hal ini menunjukan bahwa sesuatu yang ideal tidak pernah benar-benar ada, sekalipun dalam dunia khayal, karena logika selalu turut andil dalam setiap fase kehidupan.

Dalam novel ini, Asmara juga menyelipkan gambaran feminisme radikal, yakni gerakan feminis yang beranggapan  bahwa penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum lelaki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar dalam Banita). Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein, 1979 dalam Banita).

Gerakan feminis radikal ini ditunjukan oleh tokoh Talyda, seorang wanita liberal yang merasa berkuasa atas Gambir karena pribadinya yang perfeksionis dan superior. Ditunjukkan pula oleh sosok Talyda bahwa bahwa persoalan biologis tidak mampu menekannya. Ia merasa antara laik-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, bahkan dalam persoalan mengandung dan melahirkan anak, perempuan jauh lebih berkuasa daripada laki-laki yang hanya menanamkan benih, sehingga keputusan untuk aborsi atau melahirkan anak yang dikandung adalah murni hak seorang istri, yang tidak dapat ditembus oleh laki-laki.

Kekurangan dari novel ini terdapat pada bagian alur dan kelogisan cerita. Secara logika, Gambir yang selama 18 tahun terkungkung dalam pusat rehabilitasi rumah sakit jiwa, dan hanya menikmati dunia bebas hingga usia sembilan tahun, mampu menciptakan imajinasi san alter ego mengenai pematung dan tata caranya, uskup agung, serta dai. Berdasarkan hal itu tidak berterima, karena pada dasarnya, imajinasi yang diciptakan, berasal dari apa yang pernah dilihat atau didengar.***

Posted in Review

Perilaku Masyarakat Hedonis dalam Novel Karmila Karya Marga T.

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Abrams (dalam Yunianti. 2005) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Keberadaan karya sastra memegang kedudukan penting, yakni sebagai perspektif kritis lain atas suatu problematika hidup yang disikapi secara artistik dan imajinatif, sebagai bentuk lain dalam menyampaikan aspirasi dan menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir (scientific truth).

Karmila karya Marga T. merupakan novel yang publikasikan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1973 dan ltelah mengalami beberapa kali cetak ulang hingga tahun 2004. Pada mulanya Karmila merupakan cerita bersambung yang dimuat di dalam Harian Kompas. Novel ini menorehkan pro dan kontra dalam masyarakat karena persfektif yang berbeda dalam menyikapi persoalan sensitif semacam seks dan agama. Novel in telah diekranisasi ke dalam sebuah film dengan judul “dr. Karmila” pada tahun 1981 yang disutradarai oleh Nico Pelamonia.

Dilihat dari estetika sebuah karya, meskipun Karmila diletakan dalam wasah novel popular, namun dilihat dari pemilihan diksi dan gaya bahasa novel ini cukup berbobot untuk dibaca dan membutuhkan daya apresiasi cukup tinggi, meskipun secara keseluruhan, novel ini beralur datar dan monoton, seperti yang kerap ditemui dalam sinetron-sinetron Indonesia.

Karmila merupakan tonggak dan batu loncatan bagi para penulis wanita Indonesia yang pada saat itu jumlahnya masih minim dan belum mendapat perhaian khusus. Dalam karyanya Marga T. Berhasil menepikan argumen awan bahwa karya yang menarik harus vulgar. Dalam Karmila, persoalan cinta, seksualitas, dan pergaulan digarap secara halus dan ekplisit, sehingga tidak menonjolkan kesal vulgar namun tetap memenuhi konteks dan tuntutan alur.

Dilihat dari sosologi pengarang, tampaknya tokoh Karmila merupakan refleksi dari sosok Marga T yang merupakan seorang dokter. Karmla dgambarkan sebagai sosok wanita yang ideal, berperilaku baik, menebar kesan positif, dan menjadi sosok idaman. Namun di satu sisi, penggambaran ideal ini justru menimbulkan kesan bahwa Karmila adalah tokoh yang superior.

Karmila merupakan gambaran nyata masyarakat modern yang berperilaku hedonis. Menganggap kebebasan dan kebahagiaan dunia adalah seseuatu yang mutlak, dengan mengesampingkan keimanan dan kewajiban sebagai manusia kepada Tuhannya. Hal ini ditunjukan secara gamblang oleh Marga T pada bagian awal novel, mengenai masyarakat hedonis dan liberal yang tidak mampu menghindari gemerlap pesta, minuman keras, dan seks.

Dilihat dari korelasinya dengan zaman, perlaku hedonis masyarakat merupakan dampak negatif dari gaya hidup modern yang kebarat-baratan namun gagal dalam berakulturasi dan menyaring setiap informasi karena minimnya local genius dalam masing-masing pribadi.

Dalam struktur masyarakat hedonis, wanita tampaknya memiliki kedudukan yang rendah. Kedudukan rendah di sini, memiliki makna yang berbeda dengan makna rendah yang sering diperjuangkan dalam gerakan emansipasi. Kedudukan rendah di sini, bukan karena seorang wanita terkungkung oleh adat maupun aturan-aturan, melainkan karena kebebasan tak berbatas yang dimiliki wanita liberal dalam masyarakat hedonis menjadikan wanita itu rendah harga dirinya, karena ia menganggap seksualitas merupukan sesuatu yang lumrah, sehingga dapat melakukan hubungan seks tanpa ada ikatan resmi, dengan mengesampingkan akibat yang akan muncul kemudian. Secara adat dan agama, hal itu tidak berterima, karena selama ini wanita selalu dianggap sebagai sosok tertutup.

Dalam karyanya Marga T. Secara implisit menyampaikan kepada pembaca bahwa perilaku hedonis dapat disebabkan oleh keadaan keluarga yang berantakan, sehingga anak sebagai unit terkecil dalam keluarga menjadi korban. Dalam keluarga yang berantakan, kecenderungan seorang anak untuk memeliki rasa percaya diri yang rendah dan merasa dirinya imperior semakin besar, sehingga ia akan mencari kesenangan lain di luar keluarganya. Hal ini ditunjukan Marga T. Lewat tokoh Feisal, yang menjadi sosok hedonis karena kondisi keluarganya yang tidak harmonis. Ketidakharmonisan ini disebabkan oleh sang ayah yang lebih mengutamakan perusahaan sehingga memiliki waktu yang minim dalam kebersamaannya dengan keluarga, sementara sang Ibu yang mengabaikan anak-anaknya dan justru berselingkuh dengan laki-laki lain karena adanya ketidakpuasan terhadap suaminya. “Mereka sama sekali tidak bahagia. Dia terlalu sibuk dengan gaplek dan barang-barang impornya dan istrinya yang cantik serta kesepian itu sibuk dengan bedak-bedaknya.” (Marga T. 1974: 21)

Secara keseluruhan novel ini menggangakat konflik psikologi yang dialami antar tokoh, dan Merga T. Juga berkali-kali menyinggung persoalan Ketuhanan. Bagaimana keimanan seseorang kepada Tuhan menjadi suatu poin penting yang dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Seperti yang dilakukan oleh keluarga Feisal ketika mendiskusikan untuk meminang Karmila.

“Engkau belum menjumpainya. Anak itu mahasiswi kedokteran. Tingkat tiga!” kata Ayahnya.

“Apakah itu menjamin?”

“Dia alim.”

“Apakah itu menjamin?”

“Dia katolik.”

“Apakah itu menjamin?”

“Bu, dia beragama dan sungguh-sungguh alim, dan dia suci,” kata Feisal hampir menangis. (Marga T. 1974: 45)

 

Konflik psikologis yang paling menonjol dalam novel ini dialami oleh tokoh utama, yakni Karmila. Sejak awal, Karmila telah mengalami sebuah kontradiksi dalam dirinya, yakni adanya suatu kecemasan berlebih akibat tindakan pemerkosaan yang dialaminya, apakah hal tersebut akan berpengaruh terhadap masa depannya, baik karir maupun hubungangan percintaannya dengan Edo, tunangannya. Untuk menekankan hal tersebut, Marga T . kerap mengulang-ngulang narasi dan monolog yang sama.

Kontradiksi yang kedua terjadi ketika Karmila dinyatakan hamil. Karena gengsi dan harga diri tinggi, tokoh Karmila mengalami suatu dilema mengenai status sang anak di kemudian hari, hingga timbul sebuah pilihan : memberikan anaknya kepada ibunya dan menganggapnya sebagai adik atau menikah dengan laki-laki yang telah melakukan tindakan asusila terhadap dirinya kemudian memberikan anaknya pada laki-laki itu. Dilihat dari kacamata psikologis, tindakah tersebut adalah hal wajar, mengingat para wanita yang menjadi korman tindakan asusila akan kehilangan jati diri dan rancangan masa depan, dan secara wajar wanita tersebut akan membenci pelaku asusila.

Kontradiksi yang terakhir masih berkaitan dengan persoalan harga diri tinggi. Ketika tokoh Karmila mengalami suatu dilema dalam hubungan pernikahannya akibat kemunculan kembali seseorang di masa lalunya. Dan akibat kehadiran putrinya. Pada dasarnya sebagai seorang ibu, seorang wanita memiliki suatu intuisi dan dorongan untuk mencintai putrinya, namun karena adanya harga diri tinggi dan egoisme yang dimiliki tokoh Karmila, didukung olrh rasa traumatik dan kekesalan panjang, tokoh Karmila mengabaikan dan berusaha menolak kehadiran putrinya. Dan Marga T dengan halus berhasil menyajikan akhir yang logis, bagaimana perasaan dan tanggung jawab seorang ibu terhadap anaknya, serta hubungan darah di antara keduanya tidak bisa dipisahkan ataupun ditolak dengan sebuah kebencian.

Posted in Review

KEDUDUKAN WANITA DALAM NOVEL CINTAKU DI KAMPUS BIRU KARYA ASHADI SIREGAR

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Grebstein (dalam Agepe. 2008) karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor sosial dan kultural, sehingga karya sastra selalu mengungkapkan tatar sosial budaya pengarangnya. Sedangkan menurut Abrams (dalam Yunianti. 2005) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Karya sastra adalah aspirasi berbentuk artistik dan imajinatif, bentuk lain untuk melawan paham dan aturan mutlak secara tidak langsung, dan merupakan media untuk menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir.

Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar merupakan novel yang publikasikan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1974. Novel ini telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1976, dengan judul yang sama, dengan pemeran utama Roy Martin dan Yenny Rachman. Setelah kesuksesannya, novel ini kembali diangkat ke layar kaca sebagai sebuah sinetron.

Cintaku di Kampus Biru merupakan tonggak dan batu loncatan bagi novel popular Indonesia yang pada saat itu jumlahnya masih minim dan belum mendapat perhatian khusus. Dengan daya citraan yang masih relevan dengan setiap dekade kehidupan remaja, karya Siregar ini masih mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Novel ini merupakan bagian pertama dari trilogi novel karya Siregar, dua bagian lainnya adalah Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Mengangkat problematika hidup mahasiswa Universitas Gajah Mada, dikenal sebagai kampus biru, pada tahun 80an secara gamblang. Melibatkan konfilk psikis, tuntutan perkuliahan, masalah percintaan, hingga skandal yang kompleks.

Dalam penggambarannya Siregar menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa pinjaman kosakata sains yang digunakan dalam struktur dialog. Terdapat pula kata-kata seruan yang digunakan berulang-ulang, misalnya bah! Lewat karyanya, Siregar seolah ingin mendikte pembaca untuk sadar akan perubahan masyarakan ke arah liberal lewat sudut pandangnya.

Dilihat dari sosiologi pengarang, pemilihan Universitas Gajah Mada sebagai latar tidak terlepas dari kepengarangan, Siregar sendiri merupakan alumni UGM yang kemudian menjabat sebagai dosen. Tidak dapat ditampik bahwa novel ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural pengarang, dipersiapkan untuk memotret kehidupan mahasiswa yang hedonis pada masanya.

Cintaku di Kampus Biru menjadi sangat menarik karena Ashadi membuka penceritaan dengan adegan tidak lazim di balik semak di lingkungan kampus yang dilakukan oleh sepasang manusia tanpa nama, hanya disebut sebagai laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukan bahwa pada masyarakat di lingkung modern telah terjadi suatu pergeseran paradigma moral, yang menyebabkan masyarakat berpikir lebih liberal.

Novel ini mengangkat berbagai intrik dan permasalahan mengenai pengertian cinta yang hakiki. Sosok Anton merupakan lambang dari hedonisme. Mewakili paradigma mahasiswa modern yang lebih condong mengagungkan kesenangan dunia, termasuk di dalamnya persoalan cinta dan seksualitas. Sosok liberal yang menolak suatu hubungan serius yang terlalu mengikat.

Dilihat kaitannya dengan novel Pesta Perpisahan karya Milan Kundera, terdapat suatu pola kesamaan, yakni tokoh utama pria menjalin berbagai affair dengan banyak wanita disamping menjalani hubungan percintaan resminya. Perbedaannya terletak pada akhir kisah, jika dalam novel Pesta Perpisahan, sang lelaki kembali pada cintanya, dalam novel Cintaku di Kampus Biru, Anton harus kehilangan cinta lamanya dan mendapat prlabuhan baru.

…Ia berpendapat bahwa pertanda cinta yang tak kunjung padam dari seorang pria adalah tidak berminatnya pria itu pada wanita lain. Tentu saja ini omong kosong. Sesuatu selalu menggerakkan aku ke arah wanita lain. Tapi begitu aku mendapatkannya, sejenis kekuatan elastis menarikku kembali pada Kamila. Aku kadang merasa bahwa mengejar wanita-wanita lain itu hanya demi pantulan baliknya, demi indahnya terbang kembali kepada istriku (penuh kelembutan, kerinduan, kerendahan hati), yang semakin kucintai melalui setiap tindak penyelewengan baru.” (Kundera. 2004 : 36)

Tokoh Anton digambarkan sebagai sosok hedonis yang bermain-bermain dengan cinta, dan mengukur kadar kecintaan dengan komunikasi seksual. Ditunjukan oleh fragmen yang menyebutkan bahwa berciuman tidak menunjukan bahwa kedua orang yang  mrlakukannya berada dalam suatu hubungan resmi. Kelemahan tokoh Anton adalah ia selalu melibatkan perasaan dalam setiap affair yang dijalaninya, sehingga ia menjadi sosok yang paling menyesal pada bagian akhir. Para wanita yang terlibat hubungan dengannya hanya akan kehilangan sosok Anton, bertolak belakang dengan Anton yang harus kehilangan banyak wanita.

Di samping menggambarkan sikap hedonis mahasiswa, Siregar juga menggambarkan berbagai perubahan sikap yang dialami wanita di era modern lewat tokoh-tokohnya. Secara eksplisit, Siregar menggambarkan bahwa wanita juga mengalami fase perubahan ke arah liberal. Wanita modern tidak lagi pemalu dan tunduk pada adat, melainkan menjadi sosok penentang dan berusaha mensejajarkan diri drngan laki-laki, yang kemudian merujuk pada tindakan radikal dan etnosentrisme. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar, wanita liberal yang radikal apakah suatu kemajuan atau kemunduran.

Digambarkan pula oleh Siregar bahwa sikap radikal wanita yang menginginkan kesamaan dengan laki-laki atas nama emansipasi tidak akan terlaksana sepenuhnya. Pada hakikatnya, wanita diciptakan untuk melengkapi, pun yang dijelaskan dalam pedoman agama, status wanita berbeda dengan laki laki agar dapat tercipta hubungan ideal antara melindungi dan dilindungi. Sehingga meskipun seorang wanita menginginkan kesejajaran, ia tidak akan terlepas dari rada canggung, hal ini berkaitan dengan kultur dan hal prinsipil.

Digambarkan pula oleh Siregar, sikap radikal wanita juga ditinjukkan oleh penggunaan unpatan-umpatan kasar, secara harfiah hal ini juga berdampak pada aspek psikologis, ketika sudut pandang dan citraan wanita menjadi buruk. Gerakan feminis radikal itu boleh jadi kemudian dapat berkembang menjadi suatu gerakan lesbianisme apabila keinginan untuk mensrjajarkan diri dengan laki-laki sudah tidak tersinggung. Lesbianisme merupakan suatu gerakan untuk menunjukan diri dan membuktikan bahwa wanita tidak membutuhkan laki-laki. Persoalan lesbiNismeini sedikit disinggung dalam dialog tokoh Anton.

Siregar menggambarkan beberapa sikap wanita yang dilukiskan ke dalam beberapa tokoh. Tokoh Marini merupakan simbol dari keagresifan wanita yang tersembunyi. Secara naluriah, wanita merupakan sosok pemalu yang kerap kali menutup diri, namun apabila ia telah berada dalam lingkung yang membuatnya nyaman, seorqng wanita akan menunjukan pribadi yang sesungguhnya. Pun dengan dalam hubungan percintaan, wanita cenderung dapat bertransformasi menjadi lebih agresif daripada laki-laki dalam sebuah hubungan resmi, dan hal tersebut telah banyak dibuktikan dengan penelitian kedokteran, karena hal ini berkaitan dengan produksi hormon.

Tokoh Marini juga digambarkan sebagai sosok yang sentimentil, mengandalkan luapan perasaan dan intuisi dalam menentukan suatu keputusan. Ciri khas seorang wanita yang lebih banyak melibatkan perasaan daripada logika. Meski demikian, wanita adalah sosok yang keras kepala, egois, mudah cemburu dan protektif terhadap pasangannya. Seakan ingin mengingatkan wanita bahwa sikap seperti itu berdampak negatif bagi lingkung sekitar, melalui kontradiksi batin Anton, Siregar mengungkapkan bahwa laki- laki tidak menyukai sikap sentimentil wanita yang terlalu berlebihan. “Kalaupun putus, biarlah teman-teman tahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menjaga nama baikku.” (Siregar. 1974:7)

Sikap agresif juga ditunjukan oleh Yusnita, meski keagresifan yang ditunjukannya berlainan dengan keagresifan yang ditunjukan Marini. Yusnita lebih cenderung pasrah dan apa yang dikakukannya berkaitan dengan harga diri tinggi dan kebutuhan seksualitas sebagai akibat dari faktor usia. Secara hukum adat dan sosial, adegan berciuman antara Anton dan Yusnita tidak dapat berterima, karena keduanya belum terlibat dalam suatu hubungan resmi, dan tindakan yang dilakukan Anton menunjukan krisis kepribadian, karena berlaku melanggar norma terhadap dosen yang seharusnya dihormati.

Sementara lewat sosok Erika, Siregar menggambarkan sisi kelabilan wanita. Karena dominannya keterlibatan perasaan dalam menentukan keputusan, wanita acapkali mengalami suatu kontradiksi dan kebimbangan dalam menetapkan keputusan. Pun dengan persoalan cinta, Erika tidak mampu menafsirkan perasaannya, sehingga cintanya pada Anton menjelma menjadi suatu cinta platonis karena perasaan terikat pada Usman.

Siregar juga sekan menyindir para wanita yang selalu ingin menjadi pusat perhatian, berlagak modern meski sebenarnya penampilan mereka kurang senonoh.

Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik, sebab dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek kaya Macacus Irus. Tentunya agar menarik perhatian banyak orang. (Siregar. 1974:9)

Di samping hal ini, Siregar juga menyelipkan pesoalan psikologis, menjelaskan hubungan langsung antara rasa stres dan dampaknya terhadap fisik. Selain itu disinggung pula persoalan Jepang, yang pada saat itu mulai kembali masuk ke Indonesia, lewat umpatan yang dilontarkan Marini akibat banyaknya kendaraan bermotor. Pesan yang ingin disampaikan Siregar, selain pencarian jati diri dan cinta, adalah bagaimana mahasiswa harus dapat memosisikan diri. Mahasiswa tidak melulu harus belajar, melainkan harus pula menjadi aktivis dalam praktiknya di masa depan mahasiswa juga harus mengembangkan sayap dalam mempelajari bidang kajian lain di luar kajian di bidangnya.***

Posted in Review

Propaganda dan Kontra Propaganda dalam Drama “Pandu Partiwi” karya Merayu Sukma

Oleh:

Auliya Millatina Fajwah

Secara etimologi, drama berasal dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti bertindak. Menurut Dietrich (dalam Zamroni. 2006) drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan aksi pada pentas dihadapan penonton.

Drama merupakan perspektif kritis karena kerap kali menjadi wadah untuk menyajikan cara lain dalam memberikan kritik konstruktif terhadap gambaran konflik-konflik kehidupan manusia, dan bagaimana cara menghadapinya, karena drama adalah karya sastra yang memiliki dunia dan logika pemahaman sendiri.

“Pandu Partiwi” karya Merayu Sukma merupakan drama yang dimuat dalam majalah Keboedajaan Timoer, salah satu majalah besutan Jepang di Jakarta, pada tahun 1943. “Pandu Partiwi” merupakan pemenang sayembara yang diadakan Keimin Bunka Shidobo. Secara keseluruhan drama ini sarat dengan propaganda pemerintah militer Jepang, hal ini dikuatkan oleh data-data yang menyebutkan bahwa Merayu Sukma terhimpun dalam Kantor Dinas Propaganda Jepang (Sendenbu). Diamati lebih dalam lagi, selain mempropagandakan, drama “Pandu Partiwi” juga mengandung pesan kontra propaganda yang disampaikan secara tersirat melalui pengaluran dan penokohan, terutama dialog antar tokoh Jaya dan Pandu. Seperti yang dikatakan A.P. Foulkes bahwa awal abad kedua puluh adalah abad propaganda.

Secara struktural, bahasa Melayu mulai luluh penggunaanya, karena dalam drama ini Sukma menggunakan bahasa Indonesia secara utuh, tanpa banyak memuat diksi asing dan kata pinjaman. Teks sampingan yang dihadirkan cukup sederhana namun padat berisi, sehingga mempermudah pelakonannya. Dalam penulisannya, Sukma menggunakan metafora-metafora sehingga berhasil menutupi makna sesungguhnya. Selain itu, drama ini juga dipenuhi dengan personifikasi, yakni konsep-konsep abstrak yang dipaksakan oleh pemerintah Jepang untuk ditampilkan di panggung sebagai manusia.

Drama “Pandu Partiwi” memuat banyak sekali simbol-simbol yang menyembunyikan arti sesungguhnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pandu berarti penunjuk jalan, anggota perkumpulan pemuda yang berpakaian seragam khusus yang mendidik anggotanya supaya berjiwa ksatria dan gagah berani, sehingga dapat dilihat bahwa Pandu adalah suatu konsep yang harus diteladani. Partiwi melambangkan bumi, tanah air. Jaya mewakili konsep keberhasilan, yakni kemenangan dalam perjuangan. Priayiwati merupakan gambaran seseorang yang dalam masyarakat memiliki kedudukan dan melambangkan masa lalu. Sedangkan Nadarlan merupakan personifikasi dari Belanda, menggambarkan konsep mengenai kejahatan dan musuh besar. Semua tokoh dalam drama “Pandu Partiwi” merupakan simbol-simbol yang mewakili konsep rumit yang berkaitan dengan propaganda Asia Timur Raya. Dapat diasumsikan bahwa “Pandu Partiwi” berarti didikan bagi tanah air Indonesia.

Unsur propaganda dalam “Pandu Partiwi” dapat dirasakan melalui tokoh Nadarlan. Pembaca didikte dengan doktrin-doktrin bahwa Belanda adalah peghianat bangsa, kejam, pembohong, dan merupakan musuh besar, sehingga keberadaannya tidak bisa diterimakan dan harus ditiadakan. Lewat dialog antara tokoh Priayiwati dan Nadarlan, tercitra bahwa kejahatan dan kepalsuan yang ditawarkan oleh Nadarlan membawa kesengsaraan bagi Priayiwati. Meski kedudukan dan status tinggi didapat Priayiwati lewat Nadarlan, dengan mengorbankan Pandu, namun karena ketidaksenangannya nadarlan menyingkirkan Priayiwati.

…. Aku tak sudi berdampingan dengan seorang penjahat seperti engkau. Biarlah selama-lamanya engkau menjadi sampah dunia, sebab namamu telah dikikis dari buku orang baik-baik. …. Pergilah engkau ke gua sarang penjahat, sebab di situlah memang tempat yang paling cocok bagimu. Di situlah hanya yang suka menerimamu (Sukma. 1943 : 207).

Dapat diinterpretasikan bahwa Belanda merupakan bagian yang harus dihindari di tanah Indonesia, karena dapat menimbulkan penderitaan. Bahkan, kaum priyai Indonesia, yang sempat mengabdi pada Belanda setelah mengkhiati bangsa, dapat disingkirkan dengan orotisanya. Dengan ini, Sukma mendikte pembaca lewat suatu perspektif bahwa keberadaan Jepang di masa lalu adalah suatu kesalahan dan menimbulkan banyak penderitaan.

Hal politis juga dapat dirasakan lewat beberapa tanggal yang disinggung Sukma dalam karyanya, yakni tanggal 9 Maret dan 8 Agustus. Dalam drama “Pandu Partiwi” kedua tanggal tersebut dianggap sebagai hari besar yang harus diperingati, realitanya Jepang memperoleh kejayaan pada kedua tanggal tersebut. 8 Desember 1941 Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour lumpuh, merupakan jalan bagi Jepang untuk memuluskan niat membentuk persemakmuran Timur Raya, sementara pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

…. Misalnya hari 8 Desember, ialah hari dia Tuan lepaskan dari perbuatannya yang tersesat hendak membunuh diri, hari itu akan diperingatinya selama hidupnya (Sukma. 1943 : 215).

Jadi pada hari tertangkapnya penjahat besar itu, yaitu hari tanggal 9 Maret bukan saja penting diperingati oleh Pandu sendiri—tetapi penting juga menjadi peringatan oleh dunia orang baik-baik seumumnya. Karena sejak hari itulah dunia orang baik-baik mulai terlepas dari gangguan seorang penjahat besar yang telah sekian lama merajalela, merampok dan merampas hak milik orang, menyamun dan membunuh dengan kejam (Sukma. 1943 :215-216).

Pada beberapa fragmen, tokoh Pandu dianggap melambangkan Jepang, namun secara tersirat Pandu adalah karakter yang menggiring pembaca untuk sadar akan butuhnya kemerdekaan sebagai titik tolak kebebasan, dan meniadakan perbedaan sehingga hubungan sosial di tanah air dapat berjalan dengan harmonis.

Unsur kontra propaganda terdapat pada babak pertama, tercitra lewat dialog antara Jaya dan Pandu. Meskipun terkesan bertujuan mempropaganda bangsa Indonesia untuk turut andil membantu Jepang dalam perang melawan Amerika dan Inggris dalam Perang Dunia II, namun sebenarnya memiliki makna dualis, yakni sebagai bentuk keragu-raguan, kebencian, kebingungan, dan pemberontakan menghadadapi keadaan tak menentu karena kesewenangan Jepang, serta sebagai sikap tegas pemuda Indonesia dengan semangat juang untuk meraih kemerdekaan.

Saya bukan tidak berani hidup, tetapi sudah bosan tinggal di masyarakat yang telah penuh oleh kepalsuan (Sukma. 1943 : 195).

…. Sifat saudara yang tidak takut mati itu, baik digunakan buat maju ke medan perjuangan guna menghancurkan musuh kita kaum penindas dan pengkhianat itu. …. Saudara Pandu, Saudara mesti hidup terus menjadi Pandu masyarakat (Sukma. 1943 : 196).

“Pandu Partiwi” merupakan drama beraliran romantis-idealis yang kuat, penuh dengan simbol-simbol yang mewakili berbagai konsep kompleks. Mengandung dua sisi bertentangan antara unsur propaganda dan kontra propaganda, yang dikemas secara apik dalam suatu karya yang koheren tanpa adanya tumpang tindih.***

 

Daftar Pustaka

 

_____. 2006. Antologi Drama Indonesia. Jakarta: Amanah Lontar

Sukma, Merayu. 1943. “Pandu Partiwi”. Jakarta: Keboedajaan Timoer

Suseno, Agus. 2012. “Sastra Indonesia Modern di Kalimantan Selatan Sebelum Perang (1930-1945)”. Melalui www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/sastra-indonesia-modern-di-kalimantan-selatan-sebelum-perang-1930-1945. 2 Oktober 2012

Zamroni. 2006. “Konflik dalam Naskah Drama DAG DIG DUG Karya Putu Wijaya”. Melalui http://skripsi.dagdigdug.com/bab-ii-kajian-pustaka/31-drama. 26 September 2012

Posted in Review

Proses Perluasan dan Gaya Penulisan Setia Seno Gumira Adjidarma dalam Novelisasi Film Biola Tak Berdawai

oleh :

Auliya Millatina Fajwah

Alih wahana merupakan istilah yang diciptakan oleh Damono, yang digunakan untuk membicarakan masalah transformasi.Damono (dalam Suseno.2011) menjelaskan bahwa alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke dalam jenis kesenian lain, yang secara harfiah berbeda dengan terjemahan. Seperti cerita rekaan diubah menjadi tari, drama, atau film.Alih wahana juga bisa terjadi ketika film diubah menjadi novel, atau bahkan puisi yang lahir dari lukisan, dan sebaliknya.Dalam alih wahana akan terjadi perubahan, yakni adanya perbedaan antara karya yang satu dan karya hasil alih wahana tersebut,  misalnya tokoh, latar, alur, bahkan dialog harus diubah sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan jenis kesenian lain .

Novelisasi adalah pemindahan, perubahan bentuk, atau proses adaptasi sebuah film ke dalam novel. Fenomena ini telah dimulai sejak tahun 70’an dalam dunia perfilman Hollywood, ketika film-film sukses saat itu dengan segera dituangkan lewat kata-kata ke dalam sebuah novel dengan gaya penulisan yang setia, dengan kata lain hanya sekadar menuliskan kembali cerita film tersebut. Pada saat itu, novel hasil novelisasi tidak lebih dari sebuah cendera mata film. Sedangkan di Indonesia proses novelisasi baru muncul sekitar tahun 1986, dan tidak begitu fenomenal.

Dalam proses novelisasi, tuntutan untuk setia pada cerita, eksplorasi bisnis dan prediksi keuntungan merupakan pertimbangan yang bersifat mutlak, sehingga dalam proses ini karya sastra yang dialihwahanakan tetap mempertahankan wajah aslinya, tetap bulat dengan keutuhan cerita tanpa melewati proses perubahan yang berarti. Hal ini yang terjadi pada film Biola Tak Berdawai. Mengingat film Biola Tak Berdawai mendapat sejumlah penghargaan di kancah internasional, namun justru tidak terlalu sukses di pasar komersial dalam negeri, pihak penerbit tampaknya berusaha membuat penerbitan buku sebagai bagian dari peluncuran kembali film agar lebih tereksplorasi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan fenomena novelisasi dalam perfilman Hollywood.

Biola Tak Berdawai adalah sebuah film berdurasi 97 menit yang diproduksi oleh Kalyana Shira Film pada tahun 2003, berkat kerja sama Sekar Ayu Asmara sebagai sutradara, dan Nia Dinata sebagai produser.  Film yang dibintangi oleh Ria Irawan, Nicholas Saputra, Jajang C. Noer, dan Dicky Lebrianto ini berhasil meraih beberapa penghargaan seperti The Naguib Mahfouz PrizeFestival Film Internasioanl Kairo 2003, Aktris Terbaik Festival Film Asia  Pasifik di Shiraz, Iran, serta Film Terbaik, Aktor Terbaik dan Musik Terbaik Festival Film Internasional Bali. Film ini mengangkat problematika masyrakat yang alot untuk diselesaikan, yakni kehidupan bayi tunadaksa yang kerap kali dikesampingkan, dengan bumbu percintaan antar tokoh pendukung di dalamnya.

Pada tahun 2009, Biola Tak Berdawai diadaptasi kedalam sebuah novel oleh Seno Gumira Adjidarma, yang dipublikasikan oleh Penerbit Akoer. Meskipun novel ini memenuhi tuntutan penulisan yang setia, namun dikemas dengan begitu apik dengan gaya bahasa yang khas mengingat Adjidarma adalah seorang sastrawan besar dengan karya yang cukup banyak.

Adjidarma mengambil sudut pandang Dewa, dengan bagian prolog berupa monolog tokoh Dewa secara utuh.Ada beberapa pertimbangan yang mungkin diambil oleh Adjidarma dalam menentukan sudut pandang.Jika “Aku” yang bercerita adalah Dewa, tidak aka nada yang bisa menyangkalnya, karena tidak ada seorang pun yang tahu perasaan Dewa.Karema secara sederhana, Dewa digambarkan sebagai sosok yang selalu diam dan menunduk, namun selalu hadir dalam setiap fragmen hingga akhir.

Jika saja Adjidarma mengambil sosok Renjani sebagai sudut pandang, akan hadir suatu klimaks ketika sosok Renjani harus ditiadakan menjelang akhir, begitu pula dengan sosok Bhisma yang kehadirnya baru dimulai pada pertengahan cerita.

Namun pada akhirnya, Adjidarma tetap tidak konsisten dalam menentukan sudut pandang, karena ada sudut pandang lain di samping Dewa yang selalu muncul ketika penceritraan wayang dimulai, namun hal tersebut tidak masalah, karena memang tidak ada aturan mutlakberkenaan dengan konsistensi sudut pandang, dan hal tersebut juga tidak mengganggu terhadap jalannya cerita, justru memberikan esensi tersendiri.

Karena pada dasarnya novelisasi adalah proses gaya penulisan setia terhadap cerita asli, maka seperti film lain yang dituangkan ke dalam transkripsi,ceritanya akan mengalir sama, sehingga kiranya sah saja jika hanya menikmati salah satu karya, baik itu novel maupun film.

Mekipun demikian, novelisasi tampaknya tidak dapat terlepas dari proses perluasan atau penambahan, dan hal itu adalah sesuatu yang lumrah, mengingat bahasa harus dapat menggugah imjinasi pembaca semaksimal mungkin. Melihat novel garapan Adjidarma yang hampir dua ratus halaman, tentu saja ada proses perluasan disana. Karena akan memunculkan suatu masalah, jika penulis hanya terpaku pada alur yang tersedia, karena mungkin skenario asli hanya akan menghasilkan tulisan terbatas, dan sulit untuk mendapatkan hasil sepanjang seratus halaman.

Film adalah visualisasi skenario, tapi novelisasi bukanlah sekadar litererisasi film, karena jika begitu maka sudah akan dipenuhi oleh skenario definitif yang merupakan turunan dari filmnya. Novelisasi artinya kita bisa bercerita dengan berbusa-busa yang dalam film disebutkan pun tidak, selain hanya kelihatan sebagai gambar. (Adjidarma. 2006)

Merujuk pada pendapat Adjidarma tersebut, novelisasi novel memang bukan serta merta memindahkan skenario, namun menuliskan hal yang menarik lewat keindahan dan kekayaan bahasa seperti menulis novel pada umumnya, sehingga menggugah imajinasi pembaca dalam menggambarkan setiap baris kalimat dalam buku, namun tentu saja menghindarkan proses pengkhianatan yang melewati konteks yang telah disepakati, yakni dengan tidak merubah plot utama yang ditawarkan.

Misalnya saja ruangan lilin yang dalam film hanya berupa sebuah ruangan yang dipenuhi lilin yang tersimpan di dalam rak, dalam novel justru digambarkan sedemikian rupa sehingga pembaca seolah tertarik dan mampu menggambarkan sendiri ruangan tersebut dengan suasana yang jauh lebih indah dibandingkan dengan apa yang visualisasikan dalam film.

Dalam novelnya, Adjidarma menyelipkan kekawin Mahabarata, seperti kisah Gandari, Drupadi, Pandawa, Kurawa, Bhisma, Sengkuni, dan Dorna.Selain untuk mendapatkan hasil tulisan yang cukup panjang, hal tersebut juga dimaksudkan Adjidarma untuk memperjalas jalan cerita. Pertimbangan kebutuhan takterhindarkan, seperti nama-nama wayang dalam novel garapannyaakan kehilangan arti jika pemahaman mengenai wayang diabsenkan, juga untuk memenuhi kepuasan pembaca, karena belum tentu semua penonton film tahu siapa tokoh wayang yang kerap disebut dalam film. Padahal secara simbolik, tokoh wayang berperan sangat penting dalam cerita.

Di samping menyelipkan kisah pewayangan, Adjidarma juga menuliskan tafsir dari gambar kartu tarot dengan gambar misterius yang kerap kali dimainkan oleh tokoh Mbak Wid, Adjidarma mencoba untuk mengubah bentuk visual menjadi literer, dengan pembermaknaan tertentu, ia menafsirkan misteri masa depan dalam kartu dengan kekayaan bahasa sebagai salah satu cara untuk bercerita.

Hal yang bertolak belakang sangat mungkin terjadi, visualisasi sinematografi yang menakjubkan di film, dalam novel mungkin terkesan biasa, dan begitu pula sebaliknya.Adjidarma mengembangkan beberapa bagian dalam film yang kurang dianggap pentinghanya berupa bagian dalam dialog, menjadi sebuah kisah panjang yang menarik. Seperti halnya dialog dalam fragmen tokoh Mbak Wid yang menyebutkan bahwa Dewa mungkin saja adalah sebuah kerang di masa lalunya. Dalam film, dialog itu menggantung hanya sampai sana, dan tidak dilanjutkan, namun Adjidarma mampu mengembangkannya secara apik, diilustrasikan sebagai sosok Dewa, anak tunadaksa yang sakan-akan terpenjara dalam ruangan kaca tanpa jalan keluar.

Kamu bilang tadi Dewa memegang kerang? Mungkin itu karmanya, mungkin itu pertanda… dia sedang berjalan ke alam lain. Mungkin di kehidupan sebelumnya Dewa terlahir sebagai kerang.(Asmara.2003)

Dulu aku adalah kerang yang diam dan menunggu dalam waktu.Semestaku hanyalah rumahku yang telah melekat bersama diriku.Aku hanyalah kerang yang tumbuh di dasar lautan di balik batu karang. Begitu banyak kerang di sekitarku, mungkin kami berasal dari induk yang sama, tetapi meski kami tahu ada sesuatu di luar semesta kami, tiada cara untuk mampu saling menahu. Kami hanya diam, terdiam dan berdiam di dalam dunia kami sendiri.Apakah kami bahagia?Apakah kami berduka?Aku sudah lupa.Karena kami adalah kerang yang bisa membuka dan menutup rumah kami tentu kami berjiwa, tetapi kami sungguh-sungguh lupa apakah kami mempunyai hati.Ada kalanya kami melebur bersama menjadi terumbu karang. Dari kerang ke karang—hanya satu huruf jaraknya, namun memerlukan waktu jutaan tahun bagi kami untuk menjadi karang terindah dalam cahaya matahari yang tidak diam tetapi tumbuh dengan sangat amat pelahan.(Adjidarma. 2009:49)

 

 

Novelisasi pada dasarnya adalah adaptasi, namun tetap memiliki kesahihan yang sama dengan karya baru. Novelisasi tidak bisa dianggap sebagai degradasi dari karya aslinya, karena media yang digunakan jelas berbeda, dan tentu interpolasi penulis membuat suatu karya menjadi lebih indah.***

Posted in Review

Perbedaan Bentuk pada Haiku Jepang Karya Basho dengan Haiku Inggris Karya Reichhold

oleh:

Auliya Millatina Fajwah

Haiku adalah puisi tradisional Jepang yang tidak berjudul, tidak berima,dan pendek karena adanya kire, yaitu pemenggalan kalimat yang seharusny alebih panjang, adakalanya ditunjukan dengan tanda baca untuk membandingkan dua pencitraan secara implisit. Haiku berbentuk sajak terikat yang terdiri dari 17 silaba yang terbagi kedalam tiga baris, dengan rincian 5, 7, dan 5 suku kata. Karena begitu singkat, haiku muncul dengan penggambaran yang kuat, menangkap momen tunggal dan menyajikannya dengan kata-kata yang sangat terbatas.

Istilah haiku pertama kali diperkenalkan oleh Masaoka Shinki pada tahun 1890. Meskipun demikian, sebenarnya haiku telah muncul sejak zaman Edo (1600-1868). Berbagai sajak telah tercipta sebagai karya dari maestro terkenal pada masanya, seperti Matsuo Basho, Yosa Buson, dan Kobayashi Issa.

枯れ枝に/ 烏のとまりけり/ 秋の暮

Kareedani/ karasu no tomarikeri/ aki no kure

On a withered branch,
A crow has stopped
Autumn’s eve

Haiku di atas merupakan sajak yang ditulis oleh Matsuo Basho yang kemudian diterjemahkan oleh Makoto Ueda ke dalam bahasa Inggris. Sebuah syair yang polos karena tidak menunjukan adanya suatu kepentingan atau pusat perhatian, sebuah interpretasi penyair terhadap warna kehidupan sehari-hari.

Dalam penulisannya, Basho mengikuti aturan mutlak Jepang mengenai kaidah penulisan, terdiri dari 17 silaba, yang terbagi kedalam tiga baris dengan urutan 5,7,5 suku kata. Menggambarkan sesuatu yang tidak terlalu rumit untuk dipahami oleh orang awam. Sebagai penyair haiku Jepang tradisional, Basho juga menaati kaidah kigo, yang merujuk pada referensi musim atau alam, sebagai penanda waktu, musim, atau suasana alam ketika puisi tersebut dibuat.

Kigopada karya Basho terletak pada baris terakhir, yaitu aki no kureyang berarti senja musim gugur. Hal ini menegaskan bahwa Basho ingin melukiskan gambaran mengenai keadaan musim gugur. Memberikan imaji visualisasi kedalam benak pembaca, salah satunya dengan citraan burung gagak yang hinggap pada batang yang layu, seperti digambarkan Basho pada baris pertama dan kedua.

A barking dog

Little bits of night

Breaking off

 

Sebuah sajak yang ditulis olehJ ane Reichhold, seorang penyair yang dua kali memenangkan penghargaan sastra Museum Haiku di Tokyo, dan tiga kali memenangkan Haiku Society of America Merit Book Award: Tigers In A Tea Cup, Silence, and A Dictionary of Haiku.

Penyair di luarJepang banyak menulis haiku dalam bahasa Inggris dengan suku kata dan jumlah baris yang fleksibel, mereka lebih memfokuskan pada bentuk yang singkat, dan hal ini juga cenderung dilakukan oleh Reichhold. Meskipun sajak yang ia tulis terdiri dari tiga baris, namun hanya terdiri dari sebelas silaba, dengan rincian 3, 5,3 suku kata, dalam hal ini karya Reichhold dapat digolongkan ke dalam bentuk The Jack Collomlune, yaitu puisi dengan bentuk 3/5/3 suku kata.Seperti yang dikutipdari Wikipedia, ensiklopediabebas, “English haiku do not adhere to the strict syllable count found in Japanese haiku, and the typical length of haiku appearing in the main English is 10–14 syllables.” (Haiku in English. http://en.wikipedia.org/wiki/Haiku_in_English. diaksesSenin, 09 April 2012, 22:22)

Dalam karyanya, Reichhold juga memberikan perspektif lain mengenai kigo, tidak seperti Basho yang melukiskan secara gamblang, Reichhold menggambarkannya secara eksplisit. Bukan gambaran mengenai musim, melainkan sebuah suasana di malam hari. Hal ini menegaska nbahwa, haiku di luar jepang telah berkembang dan melebar, tidak lagi hanya berkaitan dengan musim.

Haiku dalam bahasa Inggris merupakan pengembangan dari haiku Jepang. Perbedaan bentuk dan jenis pada haiku Jepang dan Inggris terletak pada konsentrasi kaidah penulisan yang meliputi jumlah baris dan jumlah suku kata, yang menimbulkan munculnya varian bentuk haiku, termasuk munculnya haiku yang berbentuk single line. Selain itu, tema yang diangkat juga tidak melulu terpatok pada kigomelainkan telah berkembang, seperti sifat pribadi manusia, hubungan sosial, maupun ungkapan perasaan.**

Posted in Review

Kecenderungan Absurditas dalam Lakon Aduh dan Menunggu Godot

Oleh :

Auliya Millatina Fajwah

Secara etimologi, drama berasal dari bahasa Yunani, draomai, yang berarti bertindak. Menurut Dietrich (dalam Zamroni. 2006. “Konflik dalam Naskah Drama DAG DIG DUG Karya Putu Wijaya”. http://skripsi.dagdigdug.com/bab-ii-kajian-pustaka/31-drama/) drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan dengan menggunakan percakapan dan aksi pada pentas dihadapan penonton.

Drama merupakan perspektif kritis karena kerap kali menjadi wadah untuk menyajikan cara lain dalam memberikan kritik konstruktif terhadap gambaran konflik-konflik kehidupan manusia, dan bagaimana cara menghadapinya, karena drama adalah karya sastra yang memiliki dunia dan logika pemahaman sendiri.

Aduh adalah naskah drama yang ditulis oleh Putu Wijaya pada tahun 1973, menyajikan gambaran kepaguan sekelompok orang yang dihadapkan pada suatu permasalahan. Putu Wijaya memberikan esensi kepada pembaca bahwa apa yang dituangkan dalam karyanya adalah sesuatu yang hidup dalam dunianya sendiri, tidak dapat dipahami oleh nalar, dan melenceng dari logika umum.

Waiting for Godot, karya Samuel Becket, merupakan naskah drama yang ditulis pada tahun 1952 dan memperoleh hadiah Nobel tahun 1969, sebuah naskah yang awalnya berbahasa Perancis dengan judul En Attendant Godot, menyajikan kisah penantian sia-sia Vladimir dan Estragon akan kedatangan Godot. Naskah drama ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh W.S. Rendra pada tahun 1970 dengan judul Menunggu Godot, yang kemudian diterjemahkan ulang oleh Bernadeta Verry Handayani pada tahun 1999 dengan judul Sementara Menunggu Godot.

Baik lakon Aduh maupun Menunggu Godot menyajikan sesuatu yang terlepas dari marginal pemikiran ril manusia, kedua naskah tersebut seolah membimbing pembaca untuk menertawakan tindakan tokoh, sekalipun tokoh tersebut tengah berada dalam kemelut permasalahan. Pembaca diarahkan untuk tidak menunjukan sebuah simpati karena keharuan, melainkan rasa gemas dan perspektif bahwa permasalahan yang diangkat adalah sebuah parodi humor dengan anggapan bahwa tokoh adalah sosok yang konyol.

Kedua naskah drama tersebut menggambarkan fragmen tak berkesudahan dalam wilayah non-rasional, digambarkan dengan adanya kejadian serupa yang terus berulang menghampiri tokoh yang sama, seolah tidak ada pangkal dan tidak akan terungkap bagaimana akhirnya. Baik Aduh maupun Menunggu Godot memberi gambaran bahwa dialog antartokoh bukan lagi satu-satunya hal mutlak untuk berkomunikasi dan saling mengerti, karena justru dengan adanya percakapan tersebut, suasana tampak membingungkan. Menuntun pembaca pada rasa penasaran, namun tidak menyajikan akhir yang diharapkan, justru membiarkan pembaca hanyut dengan pikiran akan akhir yang terkesan menggantung.

Cerita yang diangkat menampilkan gambaran yang sama, yakni sebuah absurditas. Dalam naskah Aduh, Putu Wijaya menggambarkan suasana tidak rasional, yakni ketika seorang yang sakit datang hanya untuk mengaduh tanpa mengatakan apapun, dan sekelompok orang di sana justru menjadikannya bahan perdebatan. Selain itu, proses kematian dan pembusukan yang begitu cepat adalah suatu hal yang bertentangan dengan logika umum. Naskah drama ini meraih kebenaran dalam dunianya sendiri, sebuah dunia absurd yang oleh kaum realis dianggap tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh nalar, karena tidak ada kejelasan karakter, dalam hal ini Putu Wijaya menggunakan istilah “salah seorang” dalam naskahnya, dan tidak ada plot yang runtun, hanya kisah berulang. Begitu pula dengan Menunggu Godot, yang tidak membangun sebuah alur, melainkan hanya menegaskan suatu ketidakpastian dalam hidup, tidak ada suatu yang benar-benar terjadi dalam hidup manusia melainkan suatu kesia-siaan, seperti yang dilukiskan melalui penantian Vladimir dan Estragon, yang hingga akhir cerita tidak menemukan titik terang tentang yang dicari dan ditunggunya. Menunggu Godot juga menyajikan sebuah fragmen berulang yang menghampiri tokoh yang sama, sebuah peristiwa yang kompleks dan rumit. Selain itu, dalam naskah Menunggu Godot ketidakrasionalan juga ditampilkan, melalui tokoh Pozzo yang menua dan buta dalam semalam, juga kegilaan Estragon dan Vladimir yang setia menanti Godot hingga mereka menghabiskan waktu seharian di tempat yang sama.

Seperti yang diungkapkan oleh Soemanto, Bakdi (dalam makamwaru.multiply.com, 2008) perkembangan drama di Indonesia pada tahun 60’ sampai 70’an, kecenderungan teknik penulisan absurd sedang memuncak. Banyak indikasi yang ditemukan, termasuk dalam naskah Putu Wijaya. Teater absurd adalah istilah untuk jenis teater yang mengungkapkan kegagalan bahasa sebagai alat komunikasi, dapat dilihat dari alur yang tidak jelas dan ujung pangkalnya, penokohan yang tidak jelas perkembangannya, dan dialog yang tidak singkron.

Teater absurd bermaksud membuat penontonnya sadar akan posisi manusia yang genting dan misterius di alam semesta ini, serta mengisi tujuan ganda dan menghadirkan absurditas, yakni kondisi manusia di sebuah dunia di mana runtuhnya keyakinan religius telah menyingkirkan manusia dari kepastian. Meskipun tampak aneh, cuek, dan tidak runtun, sebenarnya teater absurd merepresentasikan suatu titik balik menju fungsi teater yang orisinal dan religius, konfrontasi manusia dengan dunia mitos dan realitas religius. Teater Absurd memproyeksikan dunia pribadi penulisnya, maka secara obyektif tidak memiliki tokoh-tokoh yang valid. Teater ini tidak bisa menunjukkan pertentangan antara sifat-sifat yang berbeda atau mempelajari hasrat manusia yang terjebak dalam konflik, dan karenanya tidak dramatis dalam pengertian umum. Teater ini juga tidak bermaksud mengisahkan sebuah cerita untuk menyampaikan hikmah moral atau sosial. Teater Absurd tidaklah dimaksudkan untuk bercerita tapi untuk menyampaikan suatu pola citraan puitik. (images.kurakurabiru.multiply.multiplycontent.com)

Pada era tahun 70’an, yakni ketika naskah Aduh ditulis dan Menunggu Godot diterjemahkan, kecenderungan sastrawan adalah menulis dengan gaya absurd. Seperti yang diungkapkan Banita, Baban (resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/ godot.%20doc.pdf) lakon Aduh menunjukan adanya analogi dengan Waiting for Godot sebagai hasil pertemuan pikiran, yakni sebuah kecenderungan yang sama.***

Posted in Review

Gerakan Feminis, Penghianatan, dan Seksualitas dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Belenggu Karya Armijn Pane

Oleh:

Auliya Millatina Fajwah

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Abrams (dalam Puspita Yunianti. 2005. “Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel  Saman Karya Ayu Utami”.  http://www.scribd.com/doc/46251314/Pandangan-Dunia-Pengarang-Dalam-Novel-Saman-Karya-Ayu-Utami) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Keberadaan karya sastra memegang kedudukan penting, yakni sebagai perspektif kritis lain atas suatu problematika hidup yang disikapi secara artistik dan imajinatif, sebagai bentuk lain dalam menyampaikan aspirasi dan menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir (scientific truth).

Saman karya Ayu Utami merupakan novel yang dipubikasikan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada April 1998. Karya Ayu Utami, yang pada mulanya direncanakan sebagai fragmen novel pertamanya, Laila Tak Mampir ke New York.  Novel ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda dengan judul Samans Missie, yang dipublikasikan pertama kali di Amsterdam, 9 April 2001. Novel kontroversional ini memenangkan Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998, dan penghargaan bergengsi Prince Clause Award 2000 di Belanda.  

Saman merupakan batu loncatan kebebasan karya sastra. Sebuah ilustrasi pemikiran radikal yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan, melintasi marginal rezim yang menabukan persoalan seksualitas dan intoleransi umat beragama, sisi wajah lain dari gerakan feminis. Sebuah novel kontroversial yang konstruktif. Dengan penggambaran dualis, yang mengangkat dua sisi, alur utama digambarkan lewat penceritraan Saman, dan alur bawahan lewat penceritraan Laila. Saman merupakan refleksi nyata gambaran kehidupan masyarakat sekitar rahun 1990-an, yakni pada zaman Orde Baru.

Belenggu karya Armijn Pane merupakan novel yang dipublikasikan oleh Poedjangga Baroe pada tahun 1940. Sebuah karya mengenai cinta segitiga yang terinspirasi oleh teori psikoanalisis Sigmun Freud. Novel kontroversial yang mengangkat masalah seksual, prostitusi, dan perselingkuhan. Belenggu telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, antara lain bahasa Malaysia tahun 1965, bahasa Mandarin tahun 1988, dan bahasa Inggris tahun 1989 oleh John McGlynn dengan judul Shackles.

Dalam karyanya, baik Utami maupun Pane menampilkan sisi sensitif yang sama, yakni mengangkat tema seputar seksualitas, penghianatan, dan gerakan feminis, sebagai bentuk ketidaksepahaman pada pemikiran global dan keadaan.

Menurut Puspita, Dyah seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. (“Seksualitas pada Individu Autis Remaja”. 2009. http://puterakembara.org/rm/seksualitas.shtml)

Tema seksualitas yang diangkat, sama-sama mengantarkan kedua novel ini pada kontroversial karena beberapa lapisan berpandangan bahwa hal tersebut terlalu tabu untuk dikemukakan secara gamblang sebagai santapan umum.

Utami dan Pane mengangkat tema seksualitas dalam tingkatan dan porsi yang berbeda. Jika Pane hanya menggambarkan  secara halus dan implisit, justru Utami menggambarkan seksualitas dengan lebih berani dan terbuka.

Dalam karyanya, Pane menggambarkan seksualitas secara implisit lewat tokoh Sumartini dan Hartono yang diceritrakan pernah melakukan hubungan seks pada saat kuliah, dan berdampak pada psikologis Tini, yang kemudian memiliki trauma tersendiri dalam menjalin hubungan dengan laki-laki. Sisi seksualitas juga digambarkan melalui tokoh Rohayah dengan kecenderungan perilaku tabu yang mewarnai kehidupan malam dalam dunia prostitusi.

Sedangkan Utami, menggambarkan seksualitas, yang seakan menjadi plot utama dari keseluruhan ceritanya. Jika dipahami lebih dalam, nilai implisit mengenai seksualitas telah terasa sejak bagian awal, penggambaran mengenai tokoh Laila yang dilema akan ideologinya sendiri tentang keperawanan, hingga akhirnya hal tersebut lepas setelah ia berhubungan dengan Sahir.

Tema seksualitas semakin terasa tajam  diilustrasikan Utami lewat pencitraan tokoh  Shakuntala, sosok yang merasa memiliki kebebasan penuh atas dirinya dalam berhubungan dengan laki-laki, mengesampingkan perspektif umum, dan lebih mengutamakan kepuasan pribadi. Utami bahkan dengan berani  menggambarkan sosok Shukantala sebagai pribadi dengan perilaku seksual yang menyimpang, heteroseksual. Karena selain digambarkan senang berganti-ganti pasangan, bahkan mengimajikan bagaimana sensasi berhubungan dengan Sahir yang dalam fantasinya akan terasa membosankan, terdeskripsikan dalam Saman halaman 132, Tala juga seakan-akan memposisikan Laila sebagai pasangan seksnya. Utami secara blak-blakan membahas seputas seksualitas dengan begitu terperinci, bahkan permasalahan  seputar orgasme pun diungkapkan di sana.

Dia terlalu serius, kurang imajinasi, lambat mengolah humor sehingga selalau terlambat tertawa-kadang sama sekali tak paham apa yang kami luconkan. Berhubungan seks dengannya pasti tidak imajinatif dan tak ada pembicaraan postorgasme yang menyenangkan. (Utami. Saman : 132)

Persamaan sisi lainnya yang diangkat oleh Utami dan Pane adalah penghianat, suatu keadaan ketika loyalitas dipertanyakan keberadaannya, berbagai alasan birokrat seperti rasa jenuh, ketidakpuasaan, dan jarak merupakan klise yang mewarnai kehidupan.

Kedua karya tersebut sama-sama mengangkat problematika skandal perselingkuhan dalam kesakralan pernikahan, dan seluruh gambaran konflik batin yang terbentuk sebagai akibat dari tindakan tersebut.

Dalam Belenggu, kesakralan pernikahan antara Sukartono dan Sumartini tercoreng oleh hubungan gelap Sukartono dan Rohayah. Sebuah hubungan yang tercipta karena perasaan tersiksa dari pernikahan tanpa cinta dan rasa terasing dari gaya hidup pasangan yang tidak sesuai dengan apa yang bayangkan. Puncak penghianatan adalah ketika Tono memutuskan hidup bersama Yah selama satu minggu ketika Tini pergi ke Surakarta untuk menghadiri kongres wanita.

Saman, novel yang sejak awal memang telah menyinggung persoalan loyalitas yang dipertanyakan. Sebuah hubungan gelap yang terjalin antara Laila dan Sahir, seorang pria beristri, selama bertahun-tahun. Pertemuan tak terduga yang hampir selalu berakhir dengan ciuman, merupakan awal dari serangkaian proses penghianatan pernikahan. Puncak ketidaksetiaan yang ditunjukan oleh Sahir adalah ketika ia berhubungan seks dengan Laila.

Poin terpenting dari penghianatan yang diangkat dalam kedua novel adalah perselingkuhan yang terjadi karena adanya pihak yang merasa telah jatuh cinta pada pihak lainnya. Dalam hal ini, pihak tersebut adalah Laila dan Rohayah.

Nampaknya, gerakan feminis adalah suatu tema yang begitu menarik dan tiada habisnya. Baik Pane maupun Utami mengangkat persoalan feminis dalam karyanya, dengan corak yang berbeda. Hal yang membedakan adalah, Pane mengangkat persoalaan feminisme liberal, sedangkan Utami lebih mengangkat persoalan feminisme radikal.

Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. (Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Feminis)

Dalam perspektif femnisme liberal, Sumarini menunjukan bahwa perempuan memiliki kebebasan dan intelektual yang dapat dipertimbangkan secara logis untuk disejajarkan dengan laki-laki. Lewat kehidupan modern, kesibukan dalam bidang sosial, dan  mengikuti berbagai kongres, Sumartini ingin menunjukan bahwa bukan hanya laki-laki yang bisa mendominasidunia dengan segala kepentingannya. Sumartini ingin menunjukan bahwa ia memiliki hak privat yang marginalnya tidak bisa dilanggar oleh siapapun, termasuk oleh Sukartono yang mengharapkannya untuk menjadi istri tradisional. Dalam karyanya, Pane menggambarkan sebuah benturan keras, bahwa modern dan modern tidak selamanya menghasilkan kebagiaan, justru berbenturan dan saling menuntut.

Feminis radikal beranggapan  bahwa penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum lelaki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar dalam Banita). Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein, 1979 dalam Banita).

Ilustrasi tersebut dilukiskan melalui tokoh Shakuntala yang ingin menunjukan bahwa wanita juga bisa menjadi aktif dan tidak melulu dimotori oleh kaum laki-laki. Ia melawan doktin mutlak masyarakat mengenai persoalan keperawanan. Baginya, tidak beralasan,  laki-laki harus diberi keistiweaan oleh perempuan dengan menyajikan keperawanan, sementara keperjakaan sendiri tidak pernah dipertanyakan.

Menghilangkan keperawanan, tidak mengindahkan wejangan ayahnya, dan tidur dengan banyak laki-laki, bagi Tala merupakan bentuk kudeta  untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang selalu berjalan satu arah. Karena dalam pandangan feminisme radikal, menghancurkan kekuasaan laki-laki adalah realisasi nyata dalam menghadapi laki-laki, yakni menunjukan bahwa perempuan pun dapat menjadi pihak yang aktif.

Bagi Tala, segala sesuatu dijalankan dengan asas timbal balik, begitu pula dengan pernikahan. Baginya pernikahan haruslah harus terjalin dengan laki-laki yang sesuai dengan kriteria, perempuan juga harus memilih, bukan hanya dipilih. Dalam perspektif Tala, sebutan sundel bagi perempuan yang mengejar-ngejar laki-laki adalah istilah lama yang seharusnya ditinggalkan.***

Posted in Review

Adaptasi My Sister’s Keeper Karya Jodi Picoult ke dalam Film Karya Nick Cassavetes

Oleh :

Auliya Millatina Fajah

Transformasi atau ekranisasi adalah alih wahana dari karya sastra ke film. Istilah ekranisasi berasal dari bahasa Perancis, ecran yang berarti layar. Hal ini mengacu pada definisi yang diungkapkan oleh Erneste (dalam Suseno. 2008. “Ekranisasi: Sebuah Proses Adaptasi”) bahwa ekranisasi adalah pelayarputihan, pemindahan, atau pengangkatan sebuah novel ke dalam film.

Dalam proses ekranisasi, prediksi keuntungan merupakan pertimbangan yang bersifat mutlak, sehingga dalam proses ini karya sastra yang dialihwahanakan adalah karya sastra besar dengan penjualan tinggi. Hal ini yang terjadi pada novel My Sister’s Keeper.

My Sister’s Keeper merupakan novel besar karya penulis dengan penjualan terbaik versi New York Times, Jodi Picoult. Novel ini pertama kali dipublikasikan pada 6 April 2004 oleh Atria Books di New York, Amerika Serikat. Berceritera tentang Anna Fitzgeralg—gadis berusia 13 tahun,yang mengajukan tuntutan kepada orangtuanya karena telah melakukan serangkaian tindakan medis tanpa mempertimbangkan pendapatnya untuk kepentingan kakaknya, Kate Fitzgerald, seorang penderita leukemia.

Pada 26 Juni 2009 My Sister’s Keeper diadaptasi menjadi sebuah film berdurasi 109 menit dengan judul yang sama oleh New Line Cinema, berkat kerja sama Nick Cassavetes sebagai sutradara, dan Curmudgeon Films sebagai produser. Film yang dibintangi oleh Cameron Diaz, Abigail Breslin, Sofia Vassilieva, dan Alec Baldwin ini berhasil meraih beberapa penghargaan seperti Teen Choice Award 2009, ALMA Awards 2009, Young Artist Award 2010. Film ini dipenuhi oleh kilas balik yang menekankan kejelasan kondisi Kate, dan kedekatannya dengan Anna.

Tampaknya Cassavantes sebagai sutradara memutuskan untuk membuat alur film yang berbeda dengan novel, berusaha melawan keinginan Picoult, meskipun hal itu lumrah terjadi, karena dalam ekranisasi melebur proses pengurangan, penambahan, dan perubahan struktur cerita, sehingga timbul variasi.

Adapun beberapa fragmen dalam film yang berubah dari versi aslinya, antara lain:

  1. Akhir dalam novel, Anna tewas dalam kecelakaan mobil, dan Campbell mengambil langkah untuk mendonorkan ginjal Anna kepada Kate, sehingga Kate tumbuh normal dan menjadi seorang guru tari, Jesse lulus dari akademi kepolisian, Brian ketergantungan terhadap minuman keras, dan Campbell menikah dengan Julia. Namun dalam film, justru Kate yang meninggal karena ketahanan tubuhnya menurun drastis, dan keinginannya untuk bersatu dengan Tylor—kekasih Kate, sesama penderita leukemia yang lebih dahulu meninggal, begitu ditekankan. Sara kembali memulai karirnya sebagai pengacara, Brian pengsiun lebih cepat dari pasukan pemadam kebakaran dan menjadi konsultan anak bermasalah, serta Jesse yang meneruskan pendidikan di akademi seni terkenal di New York.
  2. Julia Romano. Dalam novel ia adalah penasihat Anna. Terdapat plot sampingan yang menceriterakan kilas balik dan problematika mengenai hubungan asmaranya dengan Campbell. Namun dalam film, tokoh ini tidak mendapatkan porsi.
  3. Hubungan antara Jesse dan Brian tidak terlalu dieksplor dalam film, sedangkan dalam novel, Jesse merupakan karakter yang kompleks, ia melakukan banyak tindakan pembakaran disengaja yang kemudian harus dipadamkan oleh Brian.
  4. Hubungan antara Anna dan Campbell tidak terlalu ditonjolkan dalam film. Padahal ada bagian penting dalam novel yang menggambarkan ketersinggungan Anna saat Campbell mengira bahwa ia akan menjual kue pramuka, dan Campbell yang mengatakan kebohongan demi kebaikan kepada Anna bahwa ia tidak perlu memberikan kesaksian dalam persidangan.
  5. Dalam film, Jesse merupakan tokoh penting dalam persidangan, karena ialah juru kunci yang membongkar bahwa Kate ada dibalik gugatan yang ajukan Anna. Sedangkan dalam novel, Jesse berada di rumah sakit bersama Kate selama persidangan berangsung, dan Anna sendirilah yang membuka rahasia bahwa gugatan itu diajukan atas permintaan Kate.

Namun adakalanya proses adaptasi itu memberikan interpretasi lain terhadap penonton yang telah lebih dulu menjadi pembaca novelnya, hal tersebut terkadang dapat menimbulkan kekecewakan, karena apa yang diimajinasikan oleh pembaca jauh berbeda dengan visualisasi yang ditawarkan oleh sutradara.

Pada bagian akhir cerita, Cassavantes tampak lebih arif memutuskan Kate harus meninggal, karena hal itu terkesan lebih logis dibanding cerita aslinya. Picoult tampak terlalu memaksakan agar Kate tetap hidup, sehingga ia merangkai kecelakaan Anna yang justru menimbulkan tanda tanya dalam benak pembaca.

Namun, proses perubahan wahana juga sangat berpengaruh, media yang pada awalnya berupa keindahan kata-kata beralih menjadi audiovisual, tentu saja hal tersebut menimbulkan suatu perbedaan yang jelas. Proses imajinasi yang melibatkan emosi tejadi. Media bahasa yang digunakan dalam novel memberi ruang yang lebih luas bagi pembaca untuk menafsirkan dan mengimajinasikan apa yang diterimanya, sedangkan dalam film penonton disuguhkan gambaran apa adanya berdasarkan pilihan sutradara dengan durasi yang terbatas.

Visualisasi tokoh dalam film kurang memuaskan. Tokoh Kate dalam novel digambarkan sebagai sosok yang cantik dengan wajah yang mirip dengan Anna, namun memiliki tubuh yang lebih kecil dan kurus, namun hal tersebut tampaknya tidak terdapat dalam diri Sofia Vassilieva.

Tokoh Jesse yang diimajinasikan sebagai sosok yang begitu kompleks, merasa terasingkan, pemberontak, dan senang berbuat onar namun kerap merasa kesepian di waktu yang bersamaan, sebagaimana yang digambarkan dalam novel, justru tidak didapat dalam film. Kesan yang didapat dari visualisasi justru sebaliknya, sosok Jesse tampak begitu lembut, penurut, dan sangat perhatian terhadap keluarga. Film ini gagal menampilkan suasanakeluarga yang tidak nyaman karena adanya perasaan yang tidak mengenakan satu sama lain. Film ini justru menyajika citraan bahwa keluarga Fitzgerald adalah keluarga yang berbahagia, sehingga kesan greget berurang dan nyaris menghilang.

Pada bagian awal sampai pertengahan film, ceritera yang disajikan koheren, namun dari bagian tengah hingga akhir, Cassavetes melakukan suatu improvisasi yang dipengaruhi oleh pertimbangan dan pembacaan sutradara atau penulis skenario terhadap ceritera asli. Dalam proses alih wahana dari karya sastra ke dalam bentuk film akan didapati ketidaksesuaian dan penyimpangan, baik ketidaksesuaian yang disengaja atau tidak disengaja, atau bahkan penyimpangan yang terlalu jauh dari bentuk awalnya. ***