Posted in Review

KEDUDUKAN WANITA DALAM NOVEL CINTAKU DI KAMPUS BIRU KARYA ASHADI SIREGAR

Karya sastra adalah suatu wadah penampung realita yang terkadang tak terpenuhi dan bercampur dengan imajinasi, digambarkan sesuai dengan yang diinginkan pengarang, dengan pesan dan informasi untuk disampaikan kepada pembaca. Menurut Grebstein (dalam Agepe. 2008) karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor sosial dan kultural, sehingga karya sastra selalu mengungkapkan tatar sosial budaya pengarangnya. Sedangkan menurut Abrams (dalam Yunianti. 2005) karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.

Karya sastra adalah aspirasi berbentuk artistik dan imajinatif, bentuk lain untuk melawan paham dan aturan mutlak secara tidak langsung, dan merupakan media untuk menemukan kebenaran yang tidak dapat diperoleh lewat daya pikir.

Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar merupakan novel yang publikasikan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1974. Novel ini telah diangkat ke layar lebar pada tahun 1976, dengan judul yang sama, dengan pemeran utama Roy Martin dan Yenny Rachman. Setelah kesuksesannya, novel ini kembali diangkat ke layar kaca sebagai sebuah sinetron.

Cintaku di Kampus Biru merupakan tonggak dan batu loncatan bagi novel popular Indonesia yang pada saat itu jumlahnya masih minim dan belum mendapat perhatian khusus. Dengan daya citraan yang masih relevan dengan setiap dekade kehidupan remaja, karya Siregar ini masih mempertahankan eksistensinya hingga saat ini. Novel ini merupakan bagian pertama dari trilogi novel karya Siregar, dua bagian lainnya adalah Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Mengangkat problematika hidup mahasiswa Universitas Gajah Mada, dikenal sebagai kampus biru, pada tahun 80an secara gamblang. Melibatkan konfilk psikis, tuntutan perkuliahan, masalah percintaan, hingga skandal yang kompleks.

Dalam penggambarannya Siregar menggunakan bahasa Indonesia dengan beberapa pinjaman kosakata sains yang digunakan dalam struktur dialog. Terdapat pula kata-kata seruan yang digunakan berulang-ulang, misalnya bah! Lewat karyanya, Siregar seolah ingin mendikte pembaca untuk sadar akan perubahan masyarakan ke arah liberal lewat sudut pandangnya.

Dilihat dari sosiologi pengarang, pemilihan Universitas Gajah Mada sebagai latar tidak terlepas dari kepengarangan, Siregar sendiri merupakan alumni UGM yang kemudian menjabat sebagai dosen. Tidak dapat ditampik bahwa novel ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan kultural pengarang, dipersiapkan untuk memotret kehidupan mahasiswa yang hedonis pada masanya.

Cintaku di Kampus Biru menjadi sangat menarik karena Ashadi membuka penceritaan dengan adegan tidak lazim di balik semak di lingkungan kampus yang dilakukan oleh sepasang manusia tanpa nama, hanya disebut sebagai laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukan bahwa pada masyarakat di lingkung modern telah terjadi suatu pergeseran paradigma moral, yang menyebabkan masyarakat berpikir lebih liberal.

Novel ini mengangkat berbagai intrik dan permasalahan mengenai pengertian cinta yang hakiki. Sosok Anton merupakan lambang dari hedonisme. Mewakili paradigma mahasiswa modern yang lebih condong mengagungkan kesenangan dunia, termasuk di dalamnya persoalan cinta dan seksualitas. Sosok liberal yang menolak suatu hubungan serius yang terlalu mengikat.

Dilihat kaitannya dengan novel Pesta Perpisahan karya Milan Kundera, terdapat suatu pola kesamaan, yakni tokoh utama pria menjalin berbagai affair dengan banyak wanita disamping menjalani hubungan percintaan resminya. Perbedaannya terletak pada akhir kisah, jika dalam novel Pesta Perpisahan, sang lelaki kembali pada cintanya, dalam novel Cintaku di Kampus Biru, Anton harus kehilangan cinta lamanya dan mendapat prlabuhan baru.

…Ia berpendapat bahwa pertanda cinta yang tak kunjung padam dari seorang pria adalah tidak berminatnya pria itu pada wanita lain. Tentu saja ini omong kosong. Sesuatu selalu menggerakkan aku ke arah wanita lain. Tapi begitu aku mendapatkannya, sejenis kekuatan elastis menarikku kembali pada Kamila. Aku kadang merasa bahwa mengejar wanita-wanita lain itu hanya demi pantulan baliknya, demi indahnya terbang kembali kepada istriku (penuh kelembutan, kerinduan, kerendahan hati), yang semakin kucintai melalui setiap tindak penyelewengan baru.” (Kundera. 2004 : 36)

Tokoh Anton digambarkan sebagai sosok hedonis yang bermain-bermain dengan cinta, dan mengukur kadar kecintaan dengan komunikasi seksual. Ditunjukan oleh fragmen yang menyebutkan bahwa berciuman tidak menunjukan bahwa kedua orang yang  mrlakukannya berada dalam suatu hubungan resmi. Kelemahan tokoh Anton adalah ia selalu melibatkan perasaan dalam setiap affair yang dijalaninya, sehingga ia menjadi sosok yang paling menyesal pada bagian akhir. Para wanita yang terlibat hubungan dengannya hanya akan kehilangan sosok Anton, bertolak belakang dengan Anton yang harus kehilangan banyak wanita.

Di samping menggambarkan sikap hedonis mahasiswa, Siregar juga menggambarkan berbagai perubahan sikap yang dialami wanita di era modern lewat tokoh-tokohnya. Secara eksplisit, Siregar menggambarkan bahwa wanita juga mengalami fase perubahan ke arah liberal. Wanita modern tidak lagi pemalu dan tunduk pada adat, melainkan menjadi sosok penentang dan berusaha mensejajarkan diri drngan laki-laki, yang kemudian merujuk pada tindakan radikal dan etnosentrisme. Hal ini kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar, wanita liberal yang radikal apakah suatu kemajuan atau kemunduran.

Digambarkan pula oleh Siregar bahwa sikap radikal wanita yang menginginkan kesamaan dengan laki-laki atas nama emansipasi tidak akan terlaksana sepenuhnya. Pada hakikatnya, wanita diciptakan untuk melengkapi, pun yang dijelaskan dalam pedoman agama, status wanita berbeda dengan laki laki agar dapat tercipta hubungan ideal antara melindungi dan dilindungi. Sehingga meskipun seorang wanita menginginkan kesejajaran, ia tidak akan terlepas dari rada canggung, hal ini berkaitan dengan kultur dan hal prinsipil.

Digambarkan pula oleh Siregar, sikap radikal wanita juga ditinjukkan oleh penggunaan unpatan-umpatan kasar, secara harfiah hal ini juga berdampak pada aspek psikologis, ketika sudut pandang dan citraan wanita menjadi buruk. Gerakan feminis radikal itu boleh jadi kemudian dapat berkembang menjadi suatu gerakan lesbianisme apabila keinginan untuk mensrjajarkan diri dengan laki-laki sudah tidak tersinggung. Lesbianisme merupakan suatu gerakan untuk menunjukan diri dan membuktikan bahwa wanita tidak membutuhkan laki-laki. Persoalan lesbiNismeini sedikit disinggung dalam dialog tokoh Anton.

Siregar menggambarkan beberapa sikap wanita yang dilukiskan ke dalam beberapa tokoh. Tokoh Marini merupakan simbol dari keagresifan wanita yang tersembunyi. Secara naluriah, wanita merupakan sosok pemalu yang kerap kali menutup diri, namun apabila ia telah berada dalam lingkung yang membuatnya nyaman, seorqng wanita akan menunjukan pribadi yang sesungguhnya. Pun dengan dalam hubungan percintaan, wanita cenderung dapat bertransformasi menjadi lebih agresif daripada laki-laki dalam sebuah hubungan resmi, dan hal tersebut telah banyak dibuktikan dengan penelitian kedokteran, karena hal ini berkaitan dengan produksi hormon.

Tokoh Marini juga digambarkan sebagai sosok yang sentimentil, mengandalkan luapan perasaan dan intuisi dalam menentukan suatu keputusan. Ciri khas seorang wanita yang lebih banyak melibatkan perasaan daripada logika. Meski demikian, wanita adalah sosok yang keras kepala, egois, mudah cemburu dan protektif terhadap pasangannya. Seakan ingin mengingatkan wanita bahwa sikap seperti itu berdampak negatif bagi lingkung sekitar, melalui kontradiksi batin Anton, Siregar mengungkapkan bahwa laki- laki tidak menyukai sikap sentimentil wanita yang terlalu berlebihan. “Kalaupun putus, biarlah teman-teman tahu bahwa yang berkhianat dia, bukan aku. Aku akan menjaga nama baikku.” (Siregar. 1974:7)

Sikap agresif juga ditunjukan oleh Yusnita, meski keagresifan yang ditunjukannya berlainan dengan keagresifan yang ditunjukan Marini. Yusnita lebih cenderung pasrah dan apa yang dikakukannya berkaitan dengan harga diri tinggi dan kebutuhan seksualitas sebagai akibat dari faktor usia. Secara hukum adat dan sosial, adegan berciuman antara Anton dan Yusnita tidak dapat berterima, karena keduanya belum terlibat dalam suatu hubungan resmi, dan tindakan yang dilakukan Anton menunjukan krisis kepribadian, karena berlaku melanggar norma terhadap dosen yang seharusnya dihormati.

Sementara lewat sosok Erika, Siregar menggambarkan sisi kelabilan wanita. Karena dominannya keterlibatan perasaan dalam menentukan keputusan, wanita acapkali mengalami suatu kontradiksi dan kebimbangan dalam menetapkan keputusan. Pun dengan persoalan cinta, Erika tidak mampu menafsirkan perasaannya, sehingga cintanya pada Anton menjelma menjadi suatu cinta platonis karena perasaan terikat pada Usman.

Siregar juga sekan menyindir para wanita yang selalu ingin menjadi pusat perhatian, berlagak modern meski sebenarnya penampilan mereka kurang senonoh.

Seorang wanita akan bertingkah kalau dia merasa dirinya cantik, sebab dia tahu dia menjadi pusat perhatian. Tapi, seorang wanita akan bertingkah juga walau dia tahu dirinya jelek kaya Macacus Irus. Tentunya agar menarik perhatian banyak orang. (Siregar. 1974:9)

Di samping hal ini, Siregar juga menyelipkan pesoalan psikologis, menjelaskan hubungan langsung antara rasa stres dan dampaknya terhadap fisik. Selain itu disinggung pula persoalan Jepang, yang pada saat itu mulai kembali masuk ke Indonesia, lewat umpatan yang dilontarkan Marini akibat banyaknya kendaraan bermotor. Pesan yang ingin disampaikan Siregar, selain pencarian jati diri dan cinta, adalah bagaimana mahasiswa harus dapat memosisikan diri. Mahasiswa tidak melulu harus belajar, melainkan harus pula menjadi aktivis dalam praktiknya di masa depan mahasiswa juga harus mengembangkan sayap dalam mempelajari bidang kajian lain di luar kajian di bidangnya.***

Author:

menulis untuk keabadian twitter : @auriyaaa instagram : @auriyaaa

Leave a comment